Wednesday, December 25, 2019

Apa sih yang Sebenarnya Dicari oleh Karyawan yang Memilih Kerja di BUMN?

Bekerja di Telkom. (Source: http://instagram.com/livingintelkom)

Gaji? Pensiunan? Gampang izin-izin? Hmmm mungkin saja. Kalau ngomongin soal gaji, banyak perusahaan non-BUMN yang gajinya lebih gede. Dapat pensiunan? Engga juga sih, karena sekarang banyak BUMN sudah mewajibkan karyawannya menabung sendiri di lembaga keuangan di luar perusahaan. Terus kalau soal gampang izin-izin, bahkan sekarang perusahaan non-BUMN juga banyak yang menawarkan flexible working hours.

Gue udah 10 tahun lebih bekerja di Telkom, salah satu BUMN (Badan Usaha Milik Negara) di Indonesia. Gue mendapati bahwa yang paling dicari oleh karyawannya dan membuat mereka ingin kerja di Telkom adalah fasilitas kesehatannya guys! Kenapa? Ini gue kasih jawabannya.

Fasilitas kesehatannya itu unlimited guys! Kalau kita karyawan aktif, fasilitas kesehatan bakal berlaku buat pasangan kita dan maksimal 3 anak kita. Unlimited itu buat biaya kalau seumpama kita atau keluarga kita sakit, apalagi yang perlu perawatan medis intensif. Gue bandingin sama beberapa perusahaan maupun fasilitas asuransi lain, rata-rata memakai kuota, jadi kalau kita menjalani perawatan yang biayanya melebihi plafon atau tidak termasuk dalam tanggungan, maka udah pasti kita harus membayar kelebihannya.

Gue pernah dapat cobaan, janin gue yang masih berusia 30 minggu dalam rahim gue divonis mengalami sumbatan usus atresia duodenum dan dokter spesialis mengatakan kalau janin sudah dilahirkan dia harus segera menjalani operasi. Jika tidak dilakukan operasi maka pencernaan bayi tidak akan bisa memproses makanan sama sekali. Dokter juga meminta gue dan suami bersiap untuk biayanya.

Gue bersyukur banget ada fasilitas kesehatan yang tadi gue ceritain. Selama 40 hari bayi gue harus dirawat di NICU (Neonatal Intensive Care Unit) di dalam inkubator dengan bermacam-macam infus dan terapi. Belum lagi operasi bedah khusus anak dan gue sendiri melahirkan sesar serta harus dirawat sebelumnya karena menderita polyhydramnion gara-gara case di atas. Semua dibiayai sama kantor guys.


Bayi gue saat dirawat di incubator (Source: Foto Pribadi)

Gue sempat ngga sengaja dengerin ortunya bayi lain yang juga dirawat di NICU. Kebetulan mereka menggunakan asuransi milik pemerintah dan ternyata tidak semua biaya bisa ditanggung. Untuk kasus bayi gue, gue juga ngga tahu berapa tepatnya total biaya yang dibayarkan perusahaan, tapi gue denger dari teman gue yang profesinya perawat, biaya yang dibayarkan itu bisa buat beli satu unit mobil SUV 7-seater baru. Biaya perawatan di NICU saja satu harinya bisa lebih dari 5 juta rupiah, belum biaya bedah bayinya.

Itu salah satu pengalaman gue yang paling ngena di ingatan gue saat dibantu dengan fasilitas kesehatan kantor. Meskipun kalau dirasa ada juga dari fasilitas kesehatan ini yang kurang enak. Jadi ya, fasilitas kesehatan karyawan Telkom ini ngga pakai kartu-kartu yang bisa gesek gitu, memang kurang praktis. Kalau kita sakit yang standar misalnya flu, kita diharuskan periksa dulu ke klinik yang dikelola oleh Yayasan Kesehatan (Yakes) Telkom, tidak bisa langsung ke dokter ahli. Baru ketika dokter kantor memberikan rujukan, kita bisa periksa ke dokter ahli. Obat-obatan kalau rawat jalan juga ada ketentuan harga tersendiri yang ditetapkan perusahaan. Tapi setidaknya, kita tidak terlalu dikekang oleh kuota yang seringkali diterapkan untuk fasilitas kesehatan berbasis kartu.


Keramaian di depan salah satu klinik Yakes Telkom
(Source: http://instagram.com/yakestelkom)
Istimewanya lagi ya guys, di Telkom, karyawannya dapat general check-up kesehatan rutin tiap tahun serta diberikan fasilitas yang sifatnya lebih antisipatif terhadap penyakit. Misalnya fasilitas fitness center maupun berlangganan fasilitas olahraga di luar yang dimiliki kantor. Selain itu, kalau karyawan-karyawan Telkom zaman baheula bahkan dapat fasilitas kesehatannya sampai pensiun lho. Duh gue juga pengen bisa sampai pensiun ni ditanggungnya, hehehe maunyaa.

Ngga ada orang yang pengen sakit, apalagi yang parah-parah. Emang lebih baik kita berusaha menjaga kesehatan dengan mengendalikan makan dan berolahraga. Hanya saja pas kita emang dapat cobaan berupa sakit, kita juga ngga pengen kepikiran soal biaya tentunya. Pengennya kan fokus menyembuhkan penyakit yang diderita.

Nah, makanya gue saranin kalau cari kerja bisa juga dicek dulu soal fasilitas kesehatannya. Gaji aduhai, kerjaan keren tapi kalau pas sakit kitanya bingung kan kurang oke juga. Memang kalau untuk BUMN juga tergantung banget ya sama kinerja BUMNnya. Tapi menurut pengalaman gue dan teman-teman gue di kantor, yakin deh poin fasilitas kesehatan layak buat dipertimbangkan.

Sunday, December 22, 2019

Inilah Tantangan Berpuasa Ramadan di Bumi Lorosae



Ini kisah saat aku ditugaskan di Dili, Timor-Leste. Bekerja selama 3 (tiga) bulan di salah satu cucu perusahaan Telkom Indonesia yaitu Telin, SA atau yang sering disebut Telkomcel. Sebuah kebetulan yang amat berkesan, karena saat aku ditugaskan juga bertepatan dengan Bulan Suci Ramadan.

Berpuasa sambil bekerja di Kota Dili tentu banyak tantangannya. Pertama dari sisi geografis dan demografis. Di Dili, Muslim adalah minoritas. Mayoritas Warga Dili menganut Agama Nasrani. Lalu, perbedaan waktu di Dili dengan tempat tinggalku di Kota Bandung yang cukup terasa, dimana di Dili, jadwal Imsak adalah pukul 5.30 pagi namun jadwal berbuka adalah sekitar pukul 19.00 malam. Di Dili kala itu, pukul 18.30 saja langit masih terang benderang.

Cuaca disana cenderung panas dan kering. Siang hari suhu udara bisa mencapai 34° Celcius. Pernah suatu siang aku keluar dari kompleks kantor ke supermarket terdekat, kepalaku pusing saking panasnya sinar matahari siang itu. Maka dari itu masa-masa di Bulan Ramadhan banyak aku habiskan di dalam area kantor. Kantor Telkomcel berada di sebuah kompleks pertokoan atau bisa dibilang Mall yaitu Timor Plaza. Konon katanya Timor Plaza adalah Mall pertama di Dili. Nah, jika istirahat siang di tengah Bulan Puasa, aku dan teman-teman Muslim lainnya rata-rata memilih berbelanja di dalam Timor Plaza.

Tantangan kedua adalah kondisi tempat kerjaku. Telkomcel menyediakan makan siang bagi karyawannya. Setiap siang, karyawan yang beragama selain Islam akan mengambil makanan secara prasmanan di pantry kantor kemudian makan di masing-masing kubikelnya. Wangi masakan pastinya menjadi godaan utama buat kami yang berpuasa. Makanya kami banyak memilih hang out di luar kantor selepas Solat Dzuhur.

Belum lagi pagi-pagi saat aku dan teman-teman baru saja tiba di kantor, wangi kopi yang dibuat para OB untuk karyawan, semerbak menyergap indra penciuman kami. Kopinya pun Luwak White Coffee, kebetulan sedang digemari juga di sana. Kebayang kan bagaimana wanginya?

Karena karyawan diberikan makan siang, untuk karyawan Muslim, makan siang diubah menjadi bekal untuk berbuka puasa. Pihak katering menyediakan wadah khusus bagi tiap karyawan Muslim yang harus dibawa kembali keesokan harinya untuk diisi makanan menjelang berbuka. Begitu seterusnya.

Kadang, kalau bosan dengan menunya, ramai-ramai aku dan teman-teman cari makan di luar kantor. Nah, tantangan selanjutnya nih, kami juga harus berhati-hati karena di Timor Leste daging babi dan minuman beralkohol bebas diperjualbelikan. Senior kami merekomendasikan sebuah tempat makan yang bebas kedua hal itu, tempat makannya bernama Warung Solo. Ya! Pemiliknya berasal dari Kota Solo, Jawa Tengah. Konon dulu ia ikut transmigrasi sehingga sekarang terdampar di Dili kemudian membuka usaha warung makan.

Ada cerita unik saat kami makan di Warung Solo. Pada saat selesai makan dan menuju kasir, kami cukup kaget. Karena ternyata harga makanan dengan daging ayam lebih mahal daripada daging sapi. Ayam goreng harganya $6 sedangkan sop iga $3! Hal tersebut katanya karena pasokan daging sapi lebih mudah diperoleh misalnya dari negara tetangga Australia dan Provinsi Nusa Tenggara Timur daripada daging ayam. Dan yaps! jangan heran, Timor Leste ternyata menggunakan mata uang USD untuk transaksinya. Meskipun untuk transaksi di bawah $1 diizinkan menggunakan mata uang lokal.

Tantangan lainnya adalah mengenai Solat Tarawih. Jika di Indonesia, khususnya di kota tempat tinggalku, kita dapat dengan mudah menemukan masjid dan menunaikan Solat Tarawih, tentu kondisinya berbeda dengan di Dili. Di Kota Dili hanya ada 2 masjid jika kita ingin Solat Tarawih di Masjid. Satu di Kampung Jawa dan satu di dekat pantai, dekat juga dengan tempat tinggal Raul Lemos, suami penyanyi kenamaan Indonesia, Krisdayanti.

Aku sempat mencoba taraweh sekali di Masjid di Kampung Jawa, wilayah kecil yang ditempati oleh umat Muslim Dili. Rata-rata warga di Kampung Jawa adalah suku Bajo, Bugis maupun warga dari Provinsi Nusa Tenggara Barat yang beragama Islam. Tarawehnya 11 rakaat, tidak jauh beda dengan di tempat tinggal asalku.
Selanjutnya aku lebih memilih solat di apartemen, karena jarak tempuh ke Kampung Jawa yang cukup jauh. Selain itu alasan keamanan bagi pendatang juga menjadi latar belakang mengapa aku dan teman-teman lebih memilih solat di apartemen. 

Sedikit info, kami di Dili kemana-mana diwajibkan naik mobil. Jadi harus berusaha cari tebengan teman yang punya mobil. Kalau pun naik taksi sebisa mungkin berombongan dan siang hari saja. Karena saat itu santer penculikan warga pendatang oleh driver taksi, OMG! Saat kami tinggal di Dili pun ada 2 kejadian pembunuhan acak, biasanya karena pengaruh minuman keras. Satu di dekat area apartemen kami dan dan satu di dekat area kantor. Jadi suasana malam agak mencekam.

Meskipun jarak yang lumayan jauh, adzan dari masjid-masjid tersebut masih terdengar lho sampai apartemen. Sehingga kalau tiba waktu sahur atau waktu solat kami tetap dapat mengggunakan adzan masjid sebagai rujukan.

9 hari sebelum Lebaran kami sudah izin cuti sehingga tidak menuntaskan Bulan Ramadhan di Dili. Tapi pengalaman Ramadan di Dili tidak pernah terlupakan. Pengalaman bagaimana menjadi minoritas dan bertoleransi dengan penganut agama lainnya serta menghormati kondisi di sekitar kita. 

Aku berterima kasih sekali kepada Telkom atas pengalaman bekerja dalam Program Global Talent di Timor Leste yang mungkin akan menjadi pengalaman sekali dalam seumur hidupku. Jika bukan karena ditugaskan oleh Telkom untuk mendukung program International Expansion-nya, aku tidak akan merasakan pengalaman berharga seperti yang kuceritakan di atas.

Sebagai penutup ceritaku, aku ingat betul petuah pamanku, katanya ada dalil dalam agama Islam yang mengatakan bahwa kalau berpuasa Ramadan di negeri yang umat Muslimnya minoritas dan kita berdoa atau beribadah, pahalanya lebih berlipat. Yah walaupun belum sempat mencari kebenaran dalil tersebut. Tapi aku benar-benar memanfaatkan waktu di sana untuk memanjatkan doa rahasiaku. Apa isi doaku? Namanya juga doa rahasia, nggak seru dong kalau dikasih tahu. Tapi, puji syukur pada Tuhan, doaku tersebut tak lama ternyata dikabulkan.

Thursday, May 09, 2019

Kondisi Polyhydramnion pada Kehamilan Kedua-ku

Setiap calon ibu pasti menginginkan proses kehamilan yang lancar dan bayi yang sehat. Begitu pula aku dengan kehamilan keduaku yang sangat aku nanti-nantikan. Namun di luar perkiraan, proses kehamilanku rupanya berjalan tak sesuai harapan tersebut.

Hingga minggu ke 30 (tiga puluh) kehamilanku semuanya baik-baik saja. Kondisi janin baik dan aku pun sehat. Sampai pada suatu saat orang-orang menilai perutku terlihat lebih besar dari usia kehamilanku. Hamil 7 bulan tapi seperti 9 bulan. Aku pun merasakan perutku menjadi lebih berat, kencang dan berkilau (idih macam iklan sampo aja).

Tiba saat kontrol rutin ke dokter. Dokter kandungan menemukan bahwa air ketubanku berlebih, ia mengatakan hal itu biasanya dipicu adanya gangguan pencernaan pada janin. Karena selain memperoleh nutrisi dari tali pusar (placenta) janin juga meminum ketuban sebagai sumber makanan. Akan tetapi lambung bayiku kelihatan baik-baik saja dan masih berisi cairan, tanda bahwa ia minum ketuban. Kata dokter, kejadian ini akan diobservasi lagi dan dilihat perkembangannya pada kontrol berikutnya.

Dua minggu aku lalui dengan pernyataan dari orang di sekelilingku yang kurang lebih sama, perutku sangat besar. Bahkan ada yang menanyakan kenapa belum cuti saking dikira usia kehamilanku sudah mencapai 9 bulan, padahal masih belum genap 8 bulan.

Pada saat pemeriksaan berikutnya, wajah dokter kandunganku terlihat agak muram. Proses pemindaian USG (ultrasonography) pun lebih lama dari biasanya. Dokter menyatakan, kali ini air ketubanku sudah sangat berlebih atau biasa disebut polyhydramnion dan ia mencurigai adanya dua buah gelembung dalam perut janinku. Seharusnya gelembung itu hanya ada satu, yaitu yang dikenali sebagai lambung. Lebih parahnya, berat janinku hanya bertambah sekitar 60 gram.

Dokter kandungan langsung membuatkan rujukan ke dokter fetomaternal (dokter untuk kandungan bermasalah) untuk dicek lebih lanjut menggunakan USG 4 Dimensi. Langsung pada sorenya di hari yang sama, kami mengantri untuk pemeriksaan dokter fetomaternal.

Sore itu mungkin adalah sore yang sangat mengejutkan bagiku dan suami. Berdasarkan hasil pemeriksaannya, polyhydramnion yang aku alami adalah karena di pencernaan janinku ada penyumbatan. Tepatnya penyumbatan di usus bagian atas, kemungkinan di usus dua belas jari. Ketika usus tersumbat dan cairan tidak bisa mengalir, maka timbul lah gelembung berisi cairan di bagian yang tersumbat. Penyumbatan ini membuat bayiku tidak bisa lagi mengkonsumsi ketuban sehingga ketuban berlebih dan bayiku kurus.

Solusi permasalahannya adalah untuk ibu harus dijaga kehamilannya karena berpotensi menyebabkan sesak nafas serta pecah ketuban karena banyaknya volume air. Sedangkan untuk bayinya diberikan vitamin penambah nutrisi agar tumbuh kembangnya tetap terjaga. Sementara itu, pernyataan yang lebih membuat syok adalah, sesudah dilahirkan nanti, bayiku harus dioperasi. Jika tidak maka ia tidak akan bisa mencerna makanan yang dimakan.

Astaghfirullah, keluar dari ruang dokter, aku dan suamiku langsung lemas. Tidak terbayang bagi kami, seorang bayi yang baru lahir dilakukan pembedahan; meski dokter menyatakan hal tersebut telah jamak dilakukan. Selain itu, kami tak habis pikir mengapa ini terjadi pada bayi kami. Penyebabnya pun tak begitu jelas, kata dokter sudah dari 'sononya', sehingga saat kami tanya apa karena faktor makanan, virus maupun bakteri; dokter bilang bukan karena itu.

Usai diperiksa dokter fetomaternal, kami dipanggil untuk berkonsultasi dengan dokter kandungan. Ia menyarankan agar tetap optimis dan berdoa. Karena apa yang menjadi temuan dokter belum tentu sepenuhnya benar. Bisa jadi seperti kasus yang ia tangani sebelumnya, ternyata sumbatan yang dimaksud hanya pup bayi yang mengeras. Ia meminta agar kita melakukan kontrol 2 minggu lagi, namun boleh datang jika terjadi hal yang tidak wajar.

Pasca-pemeriksaan dokter fetomaternal, hari-hari kulalui dengan kurang bersemangat. Memikirkan kondisi bayiku. Memikirkan bagaimana jika benar ia harus dioperasi setelah lahir. Memikirkan apakah ia akan bertahan hidup, apakah ia akan menjadi rejekiku setelah sekian lama berharap memiliki anak kedua.

Aku dan suami sempat panik. Kami diam-diam mencari informasi mengenai kejadian yang sama, meski aku cenderung lebih berdiam karena tidak ingin mendengar informasi apapun yang akan mempengaruhi kondisiku dan kehamilanku. Saking paniknya bahkan aku sempat meminta dokter kandungan agar diperbolehkan kontrol kembali dalam waktu seminggu, meski akhirnya urung aku lakukan karena merasa tidak terjadi hal-hal yang diluar kewajaran. Selebihnya kami pasrah, memperbanyak berdoa dan berusaha menyemangati diri sendiri. Kami sengaja tidak banyak bercerita kepada orang-orang agar tidak terpengaruh pembicaraan yang kurang baik.

Dua minggu berlalu. Aku kontrol ke dokter kandungan lagi dengan perut yang makin besar dan kencang hingga membuat kakiku bengkak. Dokter sempat menegur, dengan kondisi yang ia nilai lebih parah dari sebelumnya namun aku terlihat tenang. Hasil USG mengatakan air ketubannya sudah sangat sangat berlebihan. Bayiku naik berat badannya sekitar 500 gram karena konsumsi vitamin penambah berat badan, namun detak jantungnya dinilai tidak stabil. Maka dari itu dokter memintaku melakukan tes detak jantung bayi dan kontraksi rahim. Rahim yang terlalu banyak air lebih rentan pecah ketuban karena kontraksi yang terlampau sering. Selain itu, aku diminta periksa kondisi tali pusar apakah masih baik atau sudah kadaluwarsa. Sebab hanya dari tali pusar lah bayiku mendapat asupan nutrisi. Jika kondisinya sudah tidak baik maka akan lebih berbahaya bagi janin.

Aku baru melakukan tes-tes yang diminta dokter pada keesokan harinya. Tes detak jantung bayi dan kontraksi rahim dilakukan di Unit Gawat Darurat Kebidanan. Tes pertama, detak jantung bayiku agak tidak stabil dan banyak kontraksi; sehingga dokter melalukan terapi pemberian oksigen selama 4 jam dengan harapan agar detak jantung kembali normal dan kontraksi berkurang. Sambil diberikan oksigen aku sempat melakukan pemeriksaan tali pusat sebentar dan alhamdulillah hasilnya baik.

4 jam telah berlalu. Suster melakukan pemeriksaan detak jantung dan kontraksi kembali pasca terapi. Detak jantung alhamdulillah stabil, namun kontraksi malah bertambah. Setelah dilaporkan kepada dokter, akhirnya dokter memtuskan aku diopname. Opname bertujuan memberikan terapi untuk mengurangi kontraksi dan menghindari terjadinya kelahiran dini serta pecahnya ketuban. Selain itu, sebagai persiapan jika terjadi kelahiran dini, maka diberikan juga obat pematangan paru untuk janin.

Jadilah aku dirawat selama 3 malam dan menjalani terapi di atas. Pada hari keempat aku diperbolehkan pulang, masih dengan kondisi perut yang besar sekali. Aku diminta bed rest di rumah selama seminggu sambil observasi dan mengkonsumsi obat pengurang kontraksi. 3 hari pasca-opname aku diharuskan kontrol.

Makin parah, saat bedrest di rumah, aku mengalami kontraksi hebat. Barangkali seperti sudah hampir melahirkan. Obat yang kuminum tak mempan mengurangi kontraksi dan rasa sakitnya. Disamping itu, dengan perut besar aku sudah susah duduk dan berjalan. Kaki pun semakin membengkak. Aku bertahan hingga waktunya kontrol.

Saat kontrol pasca-opname, masih dilakukan tes detak jantung dan kontraksi. Hasilnya kontraksiku sudah tidak terkontrol, dokter menyarankan dua alternatif, kelahiran sesar atau reduksi ketuban. Aku dan suami ku sepakat untuk melakukan kelahiran sesar. Alternatif reduksi ketuban tidak kami pilih karena hanya bisa dilakukan di rumah sakit lain, sedangkan kondisi perut besar dan kontraksiku sudah demikian parah. Tidak ada jaminan juga bahwa reduksi ketuban bisa berimpak baik terhadap polyhydramnion yang kualami, karena toh air ketuban akan terus diproduksi selama kehamilan sehingga resiko ketuban berlebih masih bisa terulang.

Kehamilan dengan ketuban berlebih bukan tanpa resiko juga saat bayi dilahirkan. Karena banyaknya air ketuban dan rahim yang sangat melar, resiko pendarahan hingga pengangkatan rahim bisa saja terjadi. Dokter kandungan yang merawatku sampai mendatangkan dokter senior saat melakukan operasi sesar. Akhirnya pada tanggal 9 Februari 2019, pada usia kandungan 34-35 minggu, aku melahirkan secara sesar. Dan bayiku langsung dilarikan ke ruang NICU (Neonatal Intensive Care Unit) dalam sebuah inkubator.

*Bersambung

Berjuang untuk Hamil Lagi

Judul diatas mungkin agak lebay buat pengalamanku. Karena aku yakin banyak yang lebih 'gila' dan hebat berjuang untuk punya anak dibanding aku. Jangankan aku yang kepingin punya anak kedua, di luar sana para istri pun banyak yang masih berjuang demi anak pertama. Apalah kisahku ini.

Singkat kata aku sempat disebut mengalami infertilitas sekunder. Infertilitas sekunder merujuk pada perempuan yang susah memperoleh anak kedua dan seterusnya. Kalau susah punya anak pertama namanya infertilitas primer.

Aku ngga KB sejak melahirkan anak pertama Tahun 2015 lalu. Sekitar delapan bulan setelah melahirkan aku memperoleh haidku kembali dan tepat setahun usia anak pertamaku aku dan suami mulai mengusahakan anak kedua. Iyess kejar setorannn wkwkwk...

Konsul ke Dokter Obgyn

Setahun kami ikhtiar, tidak membuahkan hasil. Akhirnya kami memutuskan konsultasi ke pakar kesehatan. Keputusan tersebut juga dilatarbelakangi oleh tidak teraturnya menstruasi yang aku alami. Pola menstruasiku yang biasanya rutin jadi sering terlambat, volume serta durasi-nya juga tidak seperti sebelum punya anak pertama. Hari itu kami minta rujukan ke tempat layanan kesehatan yang disediakan oleh kantor dan diberikan rujukan ke dokter obgyn.

Usai diperiksa oleh dokter, aku dinyatakan mengalami PCOS (polycistic ovary syndrome), sindrome PCOS lah yang mengganggu kesuburanku, tepatnya keseimbangan hormon reproduksiku. Dokter menjelaskan bahwa jika aku punya riwayat penyakit diabetes, gula maupun darah tinggi dalam keluarga; kemungkinan besar penyebabnya ada pada makanan yang sering aku makan. Dokter kemudian memberikan resep terapi vitamin yang harus dikonsumsi setiap hari yaitu Ovacare dan Natur-E serta memberikan daftar diet makanan.

Whattt??? Diet makanan??? iyaa... daftar tersebut berisi bahan makanan serta turunannya yang tidak boleh aku konsumsi sama se-ka-li. Kalian pengen tahu apa aja? yak bahan makanan itu antara lain: ayam (bahkan ayam kampung pun tidak boleh), telur ayam (malah justru boleh makan telur puyuh dan telur bebek), bakso (nah lohhh), kopi (ya ampuunnn), coklat (huhuhuhu) dan semangka.

Ngga hanya aku, suamiku juga diminta diet. Suamiku justru boleh makan ayam tapi malah tidak boleh mengkonsumsi perdagingan dan keju susu. Bahan lainnya hampir mirip dengan daftar punyaku. Kalau aku setidaknya masih boleh makan daging masih lega lah.

Apa aku lakukan saran dokter itu? iyaaa aku lakukan, hanya saja untuk turunannya yang tidak sanggup aku hindari, masih agak longgar, misal: roti atau lemper yang ada ayamnya. Kan lucu kalau lagi laper parah trus yang ada cuma lemper kemudian bela-belain ngga makan atau sibuk misahin ayamnya, wkwkwk.

Aku mengonsumsi vitamin yang diberikan dokter selama tiga bulan, namun belum terlihat perkembangan yang berarti selain kulitku tambah halus karena asupan vitamin E #eaaaaaa. Aku memutuskan menghentikan konsultasiku dengan dokter tersebut, meski diet yang ia sarankan tetap aku jalani untuk alasan kesehatan. Alasanku berhenti juga karena dicereweti petugas layanan kesehatan kantor bahwa untuk program hamil, sebenarnya biayanya tidak ditanggung perusahaan, huks huks.

Mencoba Cara Tradisional

Beberapa waktu kemudian, aku berikhtiar dengan cara lain. Gara-gara testimoni seorang sepupu yang rada unik. "Eh coba deh kamu dipijit sama Mbah S, sakit banget sihhh tapi aku kemarin habis dari sana trus hamil". Angkat koper lah aku pulang kampung, pas juga lagi dines ke Yogya sih. Rumahnya Mbah S ini di daerah pegunungan nan pelosok. Nekad ke sana mendaki gunung lewati lembah, udah mirip Ninja Hattori aja si aku nih.

"Biasanya pasien simbah banyak, jadi kita musti cepet", kata om-ku yang mengantar ke rumah Mbah S. Nyampai sana kok ternyata sepi yaa. "Iya nih tumben sepi" ujar si om. Haiyahh si om bisa aja. Sampai di rumahnya, ibuku yang ikut mendampingi langsung berbisik "Ibu dah siapin rokok, kamu tinggal ngamplopin uang aja yaa". Aku manggut-manggut.

Nah, aku mulai dipijat sama Mbah S ini di bilik tempat prakteknya, di atas dipan kayu yang alasnya anyaman belel. Aku dipijat di bagian kaki, paha dan perut sambil ibuku menceritakan hasil konsultasiku ke dokter, termasuk soal sel telur kecil-kecil gara-gara kena PCOS. Iya bener sakit euyyy dipijatnya, trus Mbah bilang "Wah iya nih sel telurnya gepeng-gepeng". Dalam hatiku, wah kok bisa mbah nya tahu yaa*sambil menahan sakit dan bau bantal si Mbah yang astaghfirullah apa ngga pernah dicuci ni sarung bantalnya.

Selesai dipijat, aku didoa-doain sama Mbah S, trus dikasih minyak apaa gituu, buat pegangan katanya. Waduh pegangan apa nih. Hihihi, kok si Mbah ini agak-agak gimanaa gitu yaa. Akhirnya berdasarkan pengalaman mendaki gunung lewati lembah ke rumah si Mbah, diam-diam aku memutuskan tidak mengunjunginya lagi untuk misi kehamilan ini.

Besoknya ibuku memaksaku pergi ke tukang pijat yang lain, ini namanya Pak T. Rumahnya ngga begitu jauh dari rumah orang tua ku di kampung. Di tengah kondisiku yang batuk pilek karena kecapekan aku pun ikut.

Ruang praktek Pak T ini jauh lebih bersih daripada punya Mbah S. Ada kasur dengan sprei yang bersih di atas dipan. Awalnya teman ibuku dulu yang dipijat, dari reaksinya kelihatan sekali pijat kali ini bakal jauh lebih sakit. Bener juga, aku hanya dipijit kaki, bagian samping paha, pundak dan kepala aja wah sakit banget.

Walau begitu, analisis Pak T ini lebih logis. Dia bilang aku ngga papa, kalau soal telat haid itu biasa, yang penting makanannya dijaga. Kemudian dia juga memberi tips untuk makan pucuk daun jambu mete (walau sampai sekarang belum aku lakukan, repot juga harus cari pohon jambunya).

Hormon Prolaktin Terganggu

Aku masih menjalani diet makanan sesuai anjuran dokter meski tidak terlampau ketat. Hingga pada awal Tahun 2018 aku tidak haid selama 2 bulan. Agak mengejutkan, tapi aku meyakini hal itu bukan karena hamil, sebab aku tidak merasakan gejalanya. ujung-ujungnya tetap mengandalkan test pack dulu demi memastikan, hasilnya ternyata negatif.

Agak khawatir, aku berkunjung ke dokter obgyn, kali ini mencoba dokter yang berbeda. Dokter tersebut mengatakan bahwa aku tidak hamil, ia juga bilang kalau tidak ditemukan gejala PCOS di kandunganku, tapi berhubung dari payudaraku keluar air susu maka dokter menyimpulkan bahwa penyebab aku tidak haid selama 2 bulan adalah tingginya kadar hormon prolaktin dalam tubuh.

Astaga, apa lagi itu ya hormon prolaktin tinggi? Kata dokter hormon prolaktin adalah hormon yang membantu produksi air susu dan karenanya ia menghambat produksi sel telur, istilahnya seperti KB alami. Itulah mengapa aku tidak haid dalam waktu yang cukup lama.

Menurunkan kadar prolaktin bisa dilakukan tapi akan tergantung pada sebabnya, sehingga kata dokter kadar prolaktinku harus dicek dulu untuk mengetahui seberapa tingginya. Pergilah aku ke lab, hasilnya kadar prolaktinku sekitar 40an poin, lebih tinggi daripada kadar maksimal yang berada sekitar 30 poin.

Setelah mendapatkan hasilnya, aku belum memutuskan apakah akan kembali konsultasi ke dokter atau tidak, soalnyaa begitu aku sadari dokternya judes, hahahaha (ya ampuunnn). Yah kadang pasien butuh dokter yang lebih memotivasi. Akhirnya aku googling sendiri, mencari tahu melalui forum ibu-ibu. Nyatanya banyak yang pernah mengalami hal yang sama denganku dan bahkan kadar hormon prolaktinnya sampai ratusannnn.

Aku baca-baca apa yang mereka lakukan untuk menurunkan kadar hormon prolaktinnya. Ibu-ibu yang tetap mengunjungi dokter diberikan obat tertentu, namun obat itu memiliki efek samping yaitu mual, hmmmm. Ibu-ibu yang tidak mengunjungi dokter memutuskan untuk hidup lebih sehat, banyak mengonsumsi buah-buahan seperti apel, strawberry, wortel, tomat. Wah opsi terakhir tampak lebih menarik. Bagian yang menyenangkan adalah manapun terapi yang dipilih, sesungguhnya mereka berhasil dan tidak menghalangi mereka untuk hamil.

Mencoba Hidup Lebih Sehat dan Mengkonsumsi Kurma Hijau

Pencarianku terhadap jalan keluar untuk hormon prolaktin memberikan inspirasi untuk hidup lebih sehat. Aku menyadari kedisiplinanku dalam berolahraga bisa dibilang sangat menurun setelah menikah. Saking niatnya atau entah hanya karena dorongan sesaat juga, aku beli sepeda lipat. Ceritanya biar bisa sepedaan sama suami dan anak. Yah setidaknya ada niat dulu ye kannn...

Aku juga meningkatkan 'kegilaanku' pada buah. Pernah suatu kali aku, suami dan anak jalan-jalan ke daerah perkebunan, ada petani tomat sedang panen, langsung kami borong tomat segar 2 kilogram. Tomat itu aku makan sehari satu buah.

Kalau konsumsi buah-buahan masih menjadi hobi sih, tapi lain hal dengan olahraga. Sejak beli sepeda, aku baru dua kali sepedaan, udah keburu Bulan Puasa. Tapi hal tersebut tidak menjadi masalah, aku bisa memanfaatkan Bulan Ramadan sebagai momentum untuk memanjatkan doa dan harapanku kepada Allah. Aku ingat betul di satu hari di Bulan Ramadan aku malah menangis sendirian di kamar, saking inginnya aku diberi anak kedua, aku mengadu kepada Allah sambil sesenggukan.

Suatu hari, masih di Bulan Ramadan, ada tetangga yang membagikan kontak penjual kurma hijau sebab ada tetangga lainnya yang ingin membeli kurma hijau ini untuk program hamil. Diam-diam aku menyimpan kontak tersebut dan mendatangi tokonya untuk memesan kurma hijau. Pesananku ini sampai di minggu pertama Bulan Ramadan, aku pun mendapat tips mengkonsumsi kurma hijau dari penjualnya yaitu diblender 3 atau 5 biji dengan dicampur satu sendok madu. Hasilnya....paittttt sodara-sodaraaaa, sepettt lebih tepatnya. Hadehhh...akhirnya byar pet juga jus kurma hijau ini kami konsumsi di Bulan Ramadan.

Tak terasa Bulan Ramadan berlalu, berganti dengan Bulan Syawal. Saat mudik aku agak iri mendengar bahwa sepupuku akhirnya berhasil hamil. Tapi aku harus mengendalikan rasa iri-ku karena sadar diri bahwa sepupuku itu baru hamil bahkan setelah hampir 4 tahun pernikahannya. Ah sudah lah, rejeki masing-masing orang berbeda. Agaknya aku harus bersabar.

Dua Garis Merah, Jawaban Allah untuk Doa dan Usaha

Usai Idul Fitri, aku menantikan haid ku selanjutnya, namun tak kunjung datang. Awalnya aku mengira hal itu sebagai hal yang biasa, karena aku memang sering terlambat datang bulan. Sampai akhirnya haid ku mundur hingga dua bulan sejak haid terakhir. Aku masih cuek, malah suamiku yang rewel minta agar aku beli alat tes kehamilan. Yah kuturuti saja, meski melakukan tes kehamilan ini sesuatu yang sebenarnya agak-agak menyiksa, takut hanya satu garisnya padahal kan kita udah harap-harap cemass pengen hamil.

Selepas Solat Subuh aku ke kamar mandi untuk melakukan tes urine kehamilan dan samar-samar muncul dua garis merah. Aku tidak percaya. Kupelototin terus alat tes urine itu, memastikan ini beneran garis atau lingkaran (lhoooo). Habisnya samar-samar sekali. Namun begitu, suamiku senang dengan hasil tersebut. Besoknya kita pergi ke bidan dan memang betul positif hamil. Alhamdulillah.

Untuk pasangan mana pun di luar sana yang sedang menunggu diberikan keturunan, jangan menyerah dan tetap optimis. Insya Allah rejeki datang tepat waktu dan tak akan tertukar.










Wednesday, January 20, 2016

Melahirkan Melalui Operasi Sesar (Fyuhhhhh)

Cerita ini flashback 7 bulan yang lalu....

Hari itu, aku dan suami pergi ke dokter kandungan untuk kontrol si dedek dalam perut. Usia kandunganku memasuki minggu ke 40. Namun si dedek masih anteng aja bobok di perutku, belum ada tanda-tanda pengen keluar. Sebelumnya, beberapa kali mules dan kontraksi menghampiri tapi buru-buru juga dia pergi dan tak datang lagi.

Selesai memeriksaku, sang dokter kandungan dengan dramatis, sembari menyibak tirai ruang periksa dan bergaya bagai seorang putri keluar dari kamarnya, mengabarkan bahwa si dedek belum juga masuk jalan lahir. Dokter pun tidak merekomendasikan untuk menunggu lebih lama, karena banyak resiko menghadang. Diantaranya kemungkinan bahwa air ketuban berkurang kualitasnya karena bayi mulai mengeluarkan pup, sehingga bisa mengakibatkan infeksi terhadap janin. Akhirnya aku dan suami diharuskan memilih antara dua pilihan: mau distimulasi dengan induksi dulu atau langsung operasi sesar.

Sudah dari awal mengandung, aku dan suami menginginkan si bayi lahir melalui proses persalinan normal. Aku memilih dokter kandungan yang sudah terbukti mendukung proses kelahiran normal (karena sahabatku juga menggunakan jasa dokter ini ketika dia melahirkan anaknya dan lahirannya normal). Aku pun rajin mengikuti senam hamil hampir setiap minggu pada kehamilan trimester ketigaku. Tiap weekend aku melakukan prenatal yoga dipandu video koleksi dari YouTube. Aku juga berusaha mengisi hari-hari trimester tiga dengan lebih banyak berjalan kaki.

Maka dari itu tentu saja kami memilih jalan untuk menstimulasi kelahiran melalui induksi terlebih dahulu. Walaupun kata orang-orang induksi itu sakitnya luar biasa, ah tapi tak apa lah. Bukan melahirkan namanya kalau tidak ada rasa sakit.

Besoknya pagi-pagi kami sudah siap menuju rumah sakit. Segala perbekalan kami bawa, baik keperluan setelah melahirkan maupun makanan kecil untuk menemani proses induksi yang akan aku jalani. Membawa makanan kecil dan minuman kesukaan adalah tips dari teman-teman agar aku tidak kehabisan tenaga saat melalui proses mules-mules nanti.

Sampai di bagian kebidanan, aku dicek terlebih dahulu oleh para bidan, yaitu cek detak jantung janin, cek aktivitas janin, cek kontraksi rahim dan cek bagian dalam alias jalan lahir. Sebelum proses induksi dilakukan, aku diminta makan terlebih dahulu untuk persediaan stok tenaga (padahal di rumah juga udah sarapan). Begitu hasilnya sudah ada, bidan kemudian melaporkannya ke dokter kandunganku sebelum benar-benar dilakukan induksi.

Sesaat kemudian bidan sudah kembali ke ruangan di mana aku berada dan menyampaikan bahwa dokter menginstruksikan supaya aku langsung disesar aja. Oh yayaya bidan.

What! Langsung sesar?! *camera zoom in zoom out *adegan diulang 3x kayak iklan obat panu

Tapi kenapaaa bidaannn? Tolong jelaskan! *sambil menggoncang2kan tubuh bu bidan *ampun deh mulai drama gini...

Eh tapi beneran aku terkejut mendengar instruksi dokter itu. Sampai sempat terdiam beberapa saat. Kata bidan, karena kondisi janin sehat dan aktif tapi kontraksi lemah dan janin tidak juga masuk ke panggul, maka dokter mengkhawatirkan memang panggul sama kepalanya janin itu gak pas. Takutnya percuma aja walaupun diinduksi.
Yah, bukannya sok drama sih. Sebagian wanita modern tertentu mungkin menganggap sesar itu sebagai pilihan utama malah daripada melahirkan normal. Karena tinggal terlentang keluar lah si bayi. Yah masalah utamanya karena harapan besar kami, anak kami bisa lahir melalui persalinan normal.

Sempat bertanya sama dokter yang kemudian juga menghampiri untuk menjelaskan keadaanku, apakah operasi itu dikarenakan aku kurang berlatih sujud dan berjalan kaki. Tapi kata dokter bukan karena itu, operasi diputuskan lebih karena bayi tidak juga masuk jalan lahir. Sebab untuk kehamilan pertama normalnya adalah bayi sudah masuk panggul minimal di usia 36-37 minggu. Beda dengan anak kedua dan selanjutnya, bayi bisa saja masuk panggul tepat sebelum melahirkan, karena jalan lahir sudah pernah dipakai saat melahirkan anak pertama secara normal.

Ah sudahlah, aku dan suami akhirnya memutuskan mempercayai dokter tersebut. Karena dia lah yang memantau kehamilanku dari awal dan Insya Allah lebih tahu yang terbaik. Jangan sampai kami memutuskan sendiri segalanya namun keputusannya terlalu berisiko.

Tepat setelah menyelesaikan makan siangku, alhamdulillah aku sudah mendapatkan alokasi kamar perawatan. Aku diminta puasa makan maupun minum selama 7 jam dan operasi akan dilakukan pukul 19.30 malam. Tujuan diminta puasa adalah agar pada saat dioperasi, jika tidak toleran terhadap obat bius, pasien tidak muntah dan mengeluarkan kembali makanannya serta mengganggu proses operasi. Aku sempat protes karena aku menderita heartburn selama hamil ini, jadi kalau mual justru minimal harus minum air putih. Tapi kalau diminta puasa, bagaimana nasibku saat mual nanti (hiks hiks).

Waktu menjelang operasi, aku isi dengan beristirahat dan berdoa. Beberapa kali aku juga melatih kembali kemampuan relaksasi yang aku pelajari dari senam hamil dan prenatal yoga. Walaupun tidak jadi melahirkan secara normal, bagiku relaksasi dengan menghirup dan menghela nafas panjang, membantu membuatku lebih santai dan mengurangi rasa nervous menjelang operasi. Malangnya, bekal yang kami bawa untuk persiapan persalinan tadi justru menjadi godaan terberat. Mereka seperti melambaikan tangan, minta dimakan (huweeee).

Tepat pukul 17.00, suster datang dan memintaku bersiap-siap. Aku mandi terlebih dahulu agar badan segar, rileks dan lebih bersih dari kuman dan kotoran yang menempel (jiah bahasanya macam iklan sabun). Aku juga sempat solat maghrib, digabung dengan solat isya. Suster menyampaikan bahwa aku sudah harus siap di ruang operasi satu jam sebelum operasi, jadi pukul 18.15 suster sudah menjemput. Suster juga memberikan baju ganti khusus ruang operasi.

Sayang sekali, suami tidak diperbolehkan menemani selama operasi. Tadinya kami berfikir suami boleh mendampingi. Ternyata untuk kondisi mendadak, tidak memungkinkan. Jika ingin mendampingi harus izin direktur Rumah Sakit terlebih dahulu dari jauh hari. Dengan alasan suami juga harus disiapkan untuk disterilisasi kalau ingin masuk ruang operasi. Sedihnyaa…aku harus menghadapi operasi ini sendirian. Aku bilang pada diriku sendiri untuk tetap tegar. Aku pasti bisa!

Terangnya lampu-lampu koridor mengiringi perjalanan kami ke ruang operasi. Suamiku hanya diperbolehkan mengantar sampai depan pintu. Selebihnya hanya suster yang mendorong tempat tidurku masuk beberapa meter dari pintu masuk. Kemudian aku dipindahkan ke tempat tidur khusus ruang operasi. Tempat tidurnya datar dan keras. Dinginnya alas tempat tidur terasa hingga ke kulitku, membuat rasa nervous-ku muncul kembali. Seorang suster memasangkan selang infus ke tanganku. Menyambungkannya dengan dua buah labu. Satu labu diantaranya berisi cairan kuning, katanya akan berguna untuk mengurangi pengaruh obat bius pasca operasi. Duh, ini nih yang membuatku nervous berada di rumah sakit: harus berhadapan dengan jarum infus, maupun jarum-jarum lainnya. Susternya sempat bertanya mengenai rasa mual yang aku derita. Ternyata dia bermaksud menyuntikkan cairan penghalau rasa mual ke dalam selang infusku. Hmmm di dunia kedokteran ini ada aja yaa obat dari macam-macam keluhan.

Beberapa saat setelah suster memasang infus, datang juga seorang petugas medis yang belakangan aku baru ketahui adalah dokter anestesi. Dia menempelken sebuah sticker transparan di lenganku dan berpesan agar jangan dilepas. Konon sticker ini adalah salah satu media pereda rasa sakit, kalau tidak salah hehehe.

Aku masih menunggu sekitar 15 menit lagi sebelum benar-benar masuk ke pintu berikutnya. Dan 15 menit itu, bagiku yang merasa sendirian ini terasa sangaattt lama. Hanya sedikit terhibur dengan tenaga medis berbaju warna warni, hijau, merah, ungu, berlalu lalang sembari ku coba tebak apa saja profesi mereka ini. Sesekali aku lirik papan berisi tulisan-tulisan jadwal jaga dan jadwal operasi. Agak ke arah belakang, ada ruangan pemulihan yang berisi tempat tidur dan peralatan-peralatan lainnya. Tampak jelas pula sebuah pintu besar di sebelah kiriku yang terbuka dan menampakkan ruangan-ruangan lain. Sepertinya aku akan dibawa kesitu.

Benar, tak lama kemudian suster pemasang infus datang dan mendorongku ke ruangan itu. Berdebar kencang jantung ini. Sebentar-bentar ku elus perut ku dan mensugesti diri dengan bayangan bahagia akan segera bertemu buah hatiku. Kurasakan tendangan-tendangan pelan di perut. Mungkin bayiku merasakan hal yang sama.

Setelah masuk pintu besar, perlahan terlihat pintu-pintu besi menuju ruangan lain. Pintu itu bernomor dan memiliki lampu-lampu indikator di atasnya. Bunyi bip-bip-bip menggema di ruangan. Plafon ruangan lebih rendah daripada ruangan sebelumnya dan berrongga. Suhunya pun lebih dingin. Aku di’parkir’di depan sebuah pintu, kemudian ditinggalkan begitu saja untuk 30 menit berikutnya. Kembali kulihat beberapa tenaga medis berseliweran mendorong meja-meja, menyiapkan alat-alat, melipat kain-kain, memeriksa labu-labu infus dan botol-botol cairan. Ku tengok di sebelah kananku terdapat deretan wastafel dan tumpukan busa. Aku kembali menunggu, kali ini ditambah dengan kedinginan yang menusuk tulang. Aku mengisi pikiranku dengan bayangan mengenai proses yang akan aku jalani, sambil melafazkan beberapa doa dan berusaha tetap terjaga.

Di ujung lamunanku, suter pemasang infus mendorong tempat tidurku ke arah lain. Aku sempat mengeluhkan dinginnya ruang operasi. Sang suster hanya menjawab sekenanya saja. Awalnya aku kira pintu di depanku lah yang akan aku masuki, ternyata aku memasuki pintu bernomor satu di arah kanan ruangan. Dokter kandunganku menyambutku. “Selamat datang di teater 1” katanya mencairkan suasana. Riuh ruang operasi menyambutku. Ada sekitar tiga petugas medis lainnya ditambah sang dokter anestesi yang berbincang di ruangan itu. Terdapat rangkaian-rangkaian lampu meja operasi yang membuat ruang operasi itu sekilas memang ‘mirip’ ruang pertunjukan.

Sekitar pukul 19.45, tahapan operasi dimulai, setelah beberapa saat tenaga medis sibuk menyiapkan peralatan operasi. Hal yang pertama dilakukan adalah, penyuntikan obat bius oleh dokter anestesi. Seperti kabar yang kudengar, bius itu disuntikkan di salah satu ruas tulang belakang sekitar panggul, dalam posisi duduk membungkuk, untuk melumpuhkan sejenak saraf separuh tubuh ke bawah. Sebelum disuntik, punggungku diolesi semacam cairan dingin. Ya, aku dioperasi dalam kondisi sadar. Aku sempat membayangkan bagaimana sakitnya disuntik di tulang belakang. Kenyataannya, hanya seperti digigit semut, hahahaha….dan selanjutnya…separuh badan ke bawah seperti kesemutan dan lama-lama ba-al, mati rasa.

Masih berusaha menikmati apa yang sedang terjadi, sang suster pemasang infus sekonyong-konyong mengikat kedua tanganku ke papan panjang. Waduh apa-apaan ini…kata susternya, tangan diikat untuk mengantisipasi reaksi spontan yang bisa saja terjadi. Ya Tuhannn, pasrah aja lah aku… Sejurus kemudian, layar hijau vertikal dipasang di atas dadaku, kain-kain dibentangkan di tubuhku, peralatan logam diletakkan diatas perutku seperti obeng-obeng yang digeletakkan. Sang suster menyuntik lengan kiriku sekali lagi. Dia setengah berbisik meminta izin, aku pun setengah sadar mengiyakan saja. Sementara itu lengan kananku sudah dipasangi alat tensi otomatis yang bunyinya berisik. Di dadaku pun menyusul ditempelkan alat rekam jantung. Di bagian bawah tubuhku dimasukkan selang kateter untuk aliran darah nifas dan air kencing. Semua terjadi sangat cepat.

Dokter kandungan pelan-pelan meraba-raba perutku. Lama-lama rasanya dia seperti menggoreskan pensil di bagian bawah perut. Geli. Aku tertawa berkali-kali dibuatnya. Tiga tenaga medis yang lain mendampingi sang dokter. Mereka mengoperasiku sambil mengobrol, menggosip tentang ini itu, sedangkan aku mencoba menahan geli di antara sisa-sisa kesadaranku. Hawa dingin pun sedari tadi masih berusaha menyusupi kain-kain yang menutup tubuh.

Selesai menggores kulitku, dokter memberi aba-aba untuk memasukkan alat seperti sedotan vacuum cleaner. Terdengar bunyi cairan ketuban disedot. Dokter berucap “hallo cantiikkk, akhirnya bertemu kita”. Lantas dokter memberi aba-aba agar tenaga medis mendorong perutku sekuat tenaga ke arah kaki. Dan aku tertawa terbahak-bahak saking tidak tahan dengan gelinya. Pukul 19.59…


“Öeeekkkkkkkkkk”


Terdengarlah tangisan lantang anakku….lega tak terkira…alhamdulillaah. Dokter pun menyelesaikan pekerjaannya. Terasa bau seperti daging terbakar dan keluar asap, mungkin semacam dijahit pakai laser perutku ini.

Sambil dijahit, salah satu tenaga medis menunjukkan bayi kecilku. Aku belum sepenuhnya percaya bahwa akhirnya aku dan suamiku diamanahi bayi kecil ini. "ïbuu, selamat atas kelahiran bayinya. Kita langsung lakukan inisiasi menyusu dini yaa buu”. Ditempelkanlah bayiku di dadaku, untuk mendapatkan air susu pertama kalinya. Subhannallaah…

Selesai dijahit, seluruh peralatan yang menempel ke tubuhku dilepas kecuali infus. Aku didorong ke ruang pemulihan dan disemprot udara hangat ke bawah selimutku. Pemulihan memerlukan waktu satu setengah jam sebelum aku diperbolehkan bertemu bayiku. Sayup-sayup kudengar tangisan kerasnya. Salah seorang kerabat yang menemaniku di ruang pemulihan mengatakan bahwa bayiku sedang diukur dan diidentifikasi data-datanya di ruang kebidanan.

Operasi sesar sudah aku jalani. Selama dirawat 3 malam di rumah sakit, aku diminta berlatih tidur posisi miring, duduk, berdiri hingga berjalan. Harus dilatih agar kulit di sekitar jahitan tidak terlanjur kaku. Luka jahitan bagian luar akan kering dalam waktu kurang lebih 2 minggu, namun jahitan dalam kemungkinan membutuhkan waktu sekitar satu sampai dua bulan untuk pulih, sehingga aku tidak boleh mengangkat barang-barang berat dan tidak diizinkan beraktifitas berlebihan. Alhamdulillaah 3 hari pertama pemulihan, kondisiku tergolong normal dan baik. Tekanan darah normal, Hb pun normal. Bayiku juga normal semuanya, termasuk billirubinnya. Sehingga kami sudah boleh pulang di hari minggu.

Tuesday, June 09, 2015

Wonderful Labuan Bajo (Part #1) : The Adventure of 3 Happy Mommy Crossing East Nusa Tenggara

Timor Leste - Indonesia border bridge
That day, in the middle of our assignment in Timor Leste, we are thinking the way we spent our  holiday. We just have 3 days annual leave remaining so we plan to go to the nearby place, not far from Timor Leste. We have an idea to go to Bali but we have been there for many times so it was bored to go there. Until one of our friend tell us to go to Kupang City, 12 hours by car from Dili. It sounds interesting, yet we haven't heard any famous places there to be visited. Suddenly those friends also tell us to connect our journey to Labuan Bajo with the beautiful Komodo Island. And, finally we decided to go that way...

Some friends were wondering why we want to go to Labuan Bajo through Kupang, and wasting half of the day by car to go there. It's because we have a big curiosity about how it feels to cross Timor Island from northeastern tip to southwest tip. Therefore, we booked three one way tickets of Timor Travel (among few options of shuttle provider in Timor Leste that has Dili-Kupang track). It costs $ 20 for each ticket and will be departed at 9 a.m. At the scheduled time, they pick us up at our apartment, half an our late that the promised schedule. We still need to pick up another passangers so literally we departed from Dili at 10 a.m.

Scenery outside, still at Timor Leste
The three of us sit in the center row of the shuttle. No air conditioner provide in the shuttle, so we need to open up the window to get fresh air. It is a dilemma anyway, because we were not only get fresh air but also dust from outside, since the road toward the country border of Timor-Leste and Indonesia haven't covered by asphalt or concrete. But we saw that at some point the road were under-construction to make it better.

After 4 hours, we arrived at Atambua. We had to report to immigration section, both Timor-Leste and Indonesian. In Timor-Leste immigration we just need to queuing by ourselves. In Indonesia immigration office there were many Timorese come toward us and offered assistance to reporting our arrival. At first I thought that it was free of charge but in the end they ask for money and we gave them $ 2 for each of us. Honestly, we felt a little bit uncomfortable about that. Moreover, we had to report and gave our data at the nearby police office (Kepolisian Resor Belu, Sektor Motaain) before we continued our trip to Kupang.

Inside Timor Travel accross East Nusa Tenggara Road
Arrived in East Nusa Tenggara, Indonesia, was such a relieve for us, especially because the road was much better than previous road. We continued our journey by different shuttle through hot mix smooth road. The scenery outside provided green savanna with the beautiful sunset over the row of Nusa Tenggara traditional house. We also stopped by at a Minang-nese Restaurant, Sari Bundo Atambua to have our dinner before departed to Kupang City, the capital of East Nusa Tenggara Province.

(to be continued...)

3 Tantangan pada Masa Kehamilan (Diary Bumil Polos bagian #3)

Lebih dari sembilan bulan saya hamil. Tidak terasa proses persalinan sudah di depan mata. Ya, tidak terasa, salah satunya karena tidak terlalu banyak kesulitan yang saya alami selama proses kehamilan. Faktor pendukung lainnya adalah karena karakter saya yang cuek, tidak banyak komplain serta kondisi sekeliling yang cukup kondusif bagi saya. Menurut saya, karakter ibu hamil sangat menentukan proses yang dialami selama kehamilan karena satu masalah belum tentu sama dihadapi oleh ibu dengan karakter berbeda. Berikut tantangan yang saya alami saat hamil :

1. Heartburn

Heartburn adalah timbunan gas asam lambung yang bikin perut kembung, panas hingga terasa sampai kerongkongan. Seringkali heartburn sampai membuat saya mual dan akhirnya muntah. Tantangan yang satu ini setia menghadang mulai di trimester pertama hingga terakhir. Sempat membaik di trimester kedua sih. Saya membaca di beberapa referensi, heartburn ini wajar dihadapi ibu hamil karena hormon progesteron yang diproduksi lebih banyak selama hamil, turut menjadi penyebab naiknya asam lambung dari kondisi normal. Saya berasumsi, heartburn yang saya alami kian diperparah dengan riwayat maag saya. Kendati beberapa waktu sebelum hamil, penyakit tersebut sudah jarang menyerang.

Konsekuensinya, untuk menghindari heartburn yang cukup menyiksa ini, pada saat hamil saya amat sangat mengurangi makanan penyebab asam lambung. Mulai dari makanan yang mengandung kacang-kacangan, makanan pedas, makanan yang digoreng, makanan yang mengandung santan, sampai dengan kopi dan beberapa jenis susu. Tentu saja pembatasan konsumsi makanan yang saya lakukan menghapus cukup banyak menu makanan dan jajanan yang umum ditemui di luar rumah. Solusi memasak sayuran hijau di rumah dan memilih mengkonsumsi lebih banyak buah-buahan akhirnya jadi pilihan.

Saya sempat menebak-nebak, mungkin yang membuat beberapa ibu hamil mabuk di trimester pertama itu adalah kondisi heartburn ini. Saat dimana produksi asam lambung meningkat dan hormon sangat memengaruhi selera makan. Klop sekali jika selera makan hilang, perut tidak terisi dan asam lambung lagi banyak-banyaknya. Yang ada mual dan muntah berkepanjangan.

Saya pun mengalami perubahan selera makan, tapi bagaimanapun saya berprinsip tetap harus makan demi si baby. Jadi saya berusaha untuk tidak memanjakan diri sendiri. Makan sebelum lapar penting sekali untuk menghindari timbulnya lebih banyak asam lambung di perut saya. Asal tidak mabuk saja saya sudah bersyukur, yang penting makanan tertelan.

Pada trimester dua, yang konon termasuk masa kehamilan yang sudah lebih stabil dengan catatan kehamilan normal, heartburn juga ikut berkurang. Lumayan, saya jadi bisa menikmati beberapa menu pedas kesukaan saya. Puas-puasin deh karena pas trimester pertama sudah benar-benar membatasi.

Entah kenapa sang heartburn muncul lagi pada trimester tiga. Jika sebelumnya penyebab utamanya adalah makanan, kali ini munculnya tidak bisa ditebak. Saya sempat berasumsi macam-macam, apa jangan-jangan karena stress atau karena ukuran baby yang semakin besar hingga menekan lambung. Namun ketika saya konsultasikan dengan dokter kandungan, katanya semata karena faktor makanan. Kemudian ia memberikan obat penawar mual untuk sesekali diminum pada saat heartburn. Berdasarkan pernyataan dokter tersebut akhirnya di trimester tiga saya kembali membatasi makanan saya.

2. Miskomunikasi dengan pasangan

Ibu hamil seringkali mengalami masa-masa tidak nyaman. Misalnya berubah selera makan dan selera-selera yang lain, mual muntah, sering capek, atau jika sudah memasuki trimester akhir mulai tidak nyaman dengan posisi tidur, posisi duduk, lelah berjalan dan lain sebagainya. Belum lagi ketidaknyamanan ‘perasaan’ yang diklaim sebagai efek gejolak hormon. Pas menstruasi saja, wanita itu sulit dipahami, begitu kata laki-laki. Apalagi saat hamil, yang hormonnya berlipat ganda.

Di satu sisi, saya dan mungkin kebanyakan wanita hamil ingin sekali ketidaknyamanan ini juga dimengerti oleh pasangan. Sehingga pasangan bisa memberikan dukungan terhadap saya untuk melalui masa-masa kehamilan. Pasangan saya pun tergolong orang yang gemar membaca, mencari informasi tentang hal apapun dan terdidik. Maka seharusnya dia sudah tahu bagaimana caranya menghadapi wanita hamil.

Tapi ternyata, di kalimat terakhir itulah kesalahan saya pemirsa. Saya begitu berharap dan berprasangka baik bahwa suami akan mencari informasi mengenai ibu hamil selaiknya dia membaca berita-berita politik atau mengikuti perkembangan kejadian di luar sana melalui portal berita. Ternyata tidak sodara-sodara. Suami saya tetap harus diberi tahu apa yang harus dan sebaiknya dilakukannya. Ya begitulah, klise...wanita seringkali ingin dimengerti...pengennya tanpa harus ngomong banyak. Sedangkan pria, lempeng, dan tidak akan berasumsi macam-macam soal perasaan wanita kecuali diomongin langsung.

Dalam hal ini lah, mau tidak mau, kita dan pasangan dituntut untuk lebih cair mendialogkan tentang proses kehamilan. Sebagai wanita saya harus pro aktif mengkomunikan hal-hal yang perlu pasangan saya ketahui. Dan sebaiknya para suami juga pro aktif menanyakan, apa yang bisa dia bantu atau apa yang butuh untuk dia perhatikan. Karena menurut saya, miskomunikasi dengan pasangan ini cukup menguras tenaga pada saat saya menghadapi proses kehamilan saya yang pertama ini.

3. Emosi yang bergejolak dari biasanya –dan efeknya pada rutinitas kerja

Nah, mungkin ini masih ada kaitannya dengan peningkatan produksi hormon. Di masa-masa kehamilan, saya merasa lebih total dalam bekerja. Kemudian saya juga menggebu-gebu saat berdiskusi soal pekerjaan. Saya pun tak segan mempertahankan pendapat dan mengkoreksi sesuatu jika saya tidak setuju, sampai-sampai mendekati agak ngotot. Saya akui saya lebih mudah tersinggung juga saat hamil. Saya bertanya-tanya, ada apa yaa dengan saya, padahal saya sebelumnya tidak seberapi-api ini.

Kalau permasalahan yang satu ini, tak lain saya berlatih lebih mengendalikan diri saja. Sekali lagi saya tidak ingin memanjakan diri saya dan menuruti kehendak hormon. Sedikit banyak saya percaya, jika hal-hal di luar kebiasaan saya itu merupakan bawaan bayi, maka saya harus melatih mengendalikannya sejak ia di dalam kandungan.

Thursday, December 04, 2014

Masalah Selama Kehamilan? (Diary Bumil Polos Bagian #2)

Kehamilan saya memasuki minggu ke 12. Segala hal berlangsung santai seperti di pantai. Walau di pantai tidak sesantai yang saya katakan mungkin. Yah, kenyataannya ada juga secuil-dua cuil kejadian. Kejadian yang jamak adalah perut kembung, semacam terjadi peningkatan asam lambung yang drastis semenjak hamil dan bikin saya lumayan tidak nyaman.

Konon meningkatnya produksi asam lambung pada ibu hamil wajar, disebabkan bertambahnya produksi hormon kehamilan (oh gosh, pregnancy is all about hormonal matters). Solusinya tentu dengan menghindari penyebab perut kembung. Bagi yang sering menderita maag, akan familiar terhadap treatment ini (dan kebetulan saya adalah salah satunya).

Menghindari minum kopi dan konsumsi coklat berlebih (yang mana saya adalah penggemarnya), menghindari minum teh berlebih (walau masih diizinkan, apalagi kalo ditambah jahe itu bikin hangat perut ibu hamil, kenyataannya setiap hari ada saja waktu saya minum teh, hehehe), menghindari kacang-kacangan (jadi eneg juga sih pas hamil, terutama sama sambal kacang temannya pecel, baso tahu, kupat tahu dan batagor, asli saya jadi menghindari makanan-makanan tersebut) dan amat sangat mengurangi konsumsi makanan pedas dan berkuah kental (ampuuunnnn padahal saya penyuka makanan pedas).

Sama seperti treatment pada penderita maag, makan sedikit tapi sering lebih nyaman daripada makan tiga kali tapi banyak, apalagi makan terus dan banyak (yaeyaaalaahh). Lagian jadi bumil tu cepet laper mana bisa makan hanya tiga kali (kemudian terdengar gumaman dari sebelah: perasaan si Hanna gak hamil aja juga makan terus, wkwkwk). Tips bu bidan adalah sediakan cemilan yang agak-agak sehat di rumah maupun kantor, jadi saya sekarang ceritanya adalah penyetok setia berbagai jenis biskuit.

Selain perut kembung, masalah lain adalah sugesti otak terhadap enak tidaknya makanan. Tapi sodara-sodara, sekali lagi itu adalah sugesti. Karena anehnya makanan yang dianggap otak saya ngga enak, tapi pas dimakan, menurut lidah saya kok enak yaa. Kayaknya ini masalah gak penting. ==> masalah mana sih buat ibu hamil yang penting, orang mirip menstruasi kok indikasinya, cuma ini berlangsung lebih lama.

Hidung dan lidah yang lebih sensitif mungkin juga salah satu diantara banyak hal ihwal kehamilan ini. Oiya ada juga persoalan keputihan, lagi-lagi ini juga masalah hormon dan wajar. Yah, sepertinya kehamilan saya saat ini memang termasuk kehamilan cuek bebek. Kalau kata teman-teman, kehamilan kebo. Karena, syukur alhamdulillah, saya tidak merasa mual, tidak muntah dan tidak ngidam. Bayinya pun tidur terus di perut dong, orang bilang kayak ibunya. Ah perasaan saya bukan orang seperti itu.

Kesimpulannya, mohon maaf pada blogger yang berharap dapat tips-tips kehamilan yang banyak dari saya, soalnya yaa gimana mau ngasih tips, wong saya aja cenderung cuek dan kelihatan adem ayem pas hamil ini. So all I wanna say is...have a fun pregnancy moms! :)

Wednesday, November 05, 2014

Ada Dedek di Perutku (Diary Bumil Polos Bagian I)

Kita semua tahu bahwa pertanyaan mendasar selanjutnya dalam hidup, setelah kita menikah adalah: udah isi belum? Yakinlah, pertanyaan yang sama pun saya peroleh setiap saat dari berbagai kalangan manusia.

Saya termasuk dalam golongan kaum wanita yang ingin hamil dan melahirkan anak. Dalam ketenangan saya menjawab setiap pertanyaan sebetulnya tersimpan kegundahan yang luar biasa tentang kapan kah kiranya Tuhan mengizinkan saya menggendong amanahNya tersebut. Menyaksikan kawan-kawan dekat banyak yang belum juga dikaruniai buah hati setelah sekian lama mereka menikah, membuat pikiran saya kadang ngelantur juga ke mana-mana. Ada juga kawan yang menikah setelah saya, eh udah hamil aja. Yah walau saya baru menikah 5 bulan, gak boong juga kalau lumayan kepikiran hal ihwal hamil ini.

Kendati saya galau melow marshmellow, namun saya mencoba meyakini satu hal: rejeki untuk dikaruniai anak itu, sama hal-nya dengan jodoh, ya jadi rahasia Tuhan. Mau cepet, mau lama, mau gampang mau susah adalah kehendak Yang Maha Kuasa. Jadi saya percaya, Tuhan akan memberikannya pada waktu yang tepat. Yah itung-itung saya sama suami menikmati masa pacaran dulu karena perkenalan kita yang begitu singkat mungkin masih diperlukan semacam asimilasi dan akulturasi gitu #halahhh.

Tuhan rupanya tidak terlalu lama membiarkan saya termangu tidak jelas. Dua hari yang lalu, setelah terlambat haid hampir 1 bulan, saya memberanikan diri membeli alat tes kehamilan alias testpack. kenapa saya sebut memberanikan diri? karena jujur sudah beberapa kali 'disangka' hamil, beberapa kali pula tes kehamilan dan beberapa kali pula negatif, agak bosen juga. Apalagi kalau udah dengan bersemangat dibawa tes ke klinik dan alhasil masih aja negatif. Walau ga masalah, tapi malu juga saya, kok kayaknya jadi ngebet pengen banget hamil ==> lah emang pengen :P

Tapi tapi....kali ini positif pemirsahhh....*tiba-tiba ada suasana cetar membahana di kamar mandi saat itu. Berhubung saya orangnya ga ekspresif yaa akhirnya datar-datar aja sih rasanya melihat dua garis merah di testpack itu. Bersyukur? pasti, senang? tentu. Hanya saja yang terpikir oleh saya adalah makhluk ini akan menjadi tanggungjawab saya selama sembilan bulan lebih di perut ini. Setelah lahir, akan menjadi tugas saya dan suami untuk mendidiknya. Tidak mudah. Apa yaa...ini benar-benar bukan perkara saya akhirnya hamil, tidak...bahkan lebih dari itu.

Satu hal yang pasti, saat Tuhan kasih calon bayi ini pada saya dan suami, berarti Dia percaya bahwa kami bisa diberi anugerah ini, bahwa kami bisa mengemban tugas berat membentuk generasi selanjutnya yang hebat dalam keluarga kecil kami. Itulah kepercayaan yang menguatkan saya.

Sesaat setelah mengetahui kabar gembira itu, saya menyampaikannya pada keluarga, pada saudara dan sahabat, dan mohon doa restu mereka agar calon bayi ini sehat. Habisnya pas juga suami lagi bertugas di hutan belantara nan tidak ada sinyal, jadinya gak bisa ngabarin dia. Kemudian, mulai mendengarkan aliran nasehat-nasehat dari handai taulan yang membuat saya merasa lebih kuat mengetahui banyak yang sayang sama saya dan gembira dengan kehamilan ini.

Jika ada yang bertanya, gimana kok sampai bisa hamil? Kebanyakan saya menjawab 'tidak tahu'. Yaa karena bagaimanapun itu kehendak Tuhan. Soalnya, 5 bulan yang saya lalui pasca-menikah sungguh adalah 5 bulan yang melelahkan dengan rangkaian kegiatan keluarga dan pekerjaan yang sangat padat. Yang saya lakukan lebih banyak pasrah, menyerahkan segalanya kepada Yang Kuasa, sambil tetap berusaha. Oiya, suami saya waktu itu sering minum susu sapi kemasan satu liter itu yang rasa plain tiap hari. Dicoba saja, siapa tahu bisa membantu, karena ada satu artikel yang menyebutkan bahwa susu menyehatkan sperma, sehingga dia bisa berenang dengan kuat ke tuba falopi (kalo gak salah sebutannya begitu hehehe).

Demikian catatan saya yang pertama, semoga saya tidak segan menuliskan catatan-catatan selanjutnya :)